Sabtu, 29 November 2014

STUDI PENGKAYAAN NUTRISI BIBIT RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) STRAIN COKLAT TERHADAP DAYA TAHAN PENYAKIT ICE-ICE DAN EPIFIT

STUDI PENGKAYAAN NUTRISI BIBIT RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) STRAIN COKLAT TERHADAP DAYA TAHAN PENYAKIT ICE-ICE DAN EPIFIT


   PROPOSAL    


 
 
AHMAD SUKARJI
L22 11 262







JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014


BAB I
 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Rumput laut di Indonesia mencapai 555 jenis daan lebih dari 21 yang baru dimanfaatkan sebgai makanan serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi dala perdaganan.  Salah satu jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis Kappaphycus alvarezii (Aslan, 1998).
            Rumput laut hingga kini masih menjadi salah satu komoditas unggulan perairan indonesia. Permintaan yang tinggi akan rumput laut membuat total volume produksi budidaya terus meningkat.  Departemen kelautan perikanan (DKP) tahun 2008 mencapai 866.383 ton, dan terus megalami peningkatan menjadi 1.374.463 ton pada tahun 2006 dan 2007.  Persentase kenaikan volume rata-rata rumput laut juga merupakan salah satu yang tertinggi yaitu  sebesar  55,46%, bila dibandingkan dengan komoditas utama lainya seperti udang (17,71%) dan kerapu (11,82%).
            Penelitian rumput laut oleh santoso et al. dalam Syukron (2004) mengemukaan bahwa pada Sembilan jenis rumput laut Indonesia menyatakan bahwa Kappaphycus alvarezii mengandung serat pangan total (total dietary fiber) sebesar 69,3 g/100 g berat kering, lebih besar dari rumput laut coklat saragsum polycystum (65,7 g berat kering) dan rumput laut hijau Caulerpa sertularoides (61,8 g/100 g berat kering).
            Keberhasilan suatu budidaya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pemilihan bibit yang berkualitas, kriteria bibit dilihat dari ciri fisik untuk menghasilkan bibit yang berkualitas, (Syahputra, 2005) menjelaskan bahwa pemilihan bibit dalam budidaya K. alvarezii merupakan hal yang sangat penting.  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bibit K. alvarezii yang memenuhi syarat adalah bibit yang berupa stek dipilih dari tanaman yang segar, dapat diambil dari tanaman yang tumbuh secara alami ataupun dari tanaman bekas budidaya.
            Salah satu keberhasilan budidaya rumput laut K. alvarezii adalah pengendalian hama dan penyakit.  Hama tanaman pada budidaya rumput laut umumnya merupakan organisme laut, terutama ikan baronang dan penyu yang memangsa tanaman.  Secara alami, organisme tersebut hidup dengan rumput laut sebagai makanan utamanya.  Hama tersebut dapat menimbulkan kerusakan fisik pada tanaman budidaya.  Penyakit ice-ice merupakan kendala utama budidaya rumput laut.  Gejala ini dikenal juga dengan nama whitespot. Rumput laut yang terserang penyakit itu antara lain, pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thallus menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thallus pada beberapa cabang mengalami keputihan serta membusuk.  Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan, seperti arus, suhu, salinitas, dan kecerahan.  Kecerahan air yang sangat tinggi dan  rendahnya kelarutan  unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan  penyebab munculnya penyakit tersebut (Edi, 2012).
Nutrien yang dibutuhkan oleh rumput laut tidak cukup dari media asalnya, yaitu air laut.  Oleh karena itu perlakuan dengan penambahan pupuk untuk pertumbuhannya akan memberikan hasil yang baik.  Hal ini didukung oleh Aslan (1998) bahwa salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah nutrien yang dapat diperoleh dari pupuk.  Sejalan dengan pendapat (Liao et al. 1983 dalam Alam, 2011) menyatakan bahwa kelangsungan hidup embrio rumput laut K. alvarezii yang tumbuhkan pada media padat yang diperkaya dengan beberapa macam pupuk memperlihatkan bahwa media padat yang diperkaya dengan pupuk conwy.
            Pemberian nutrien dapat juga sebagi daya tahan (metabolisme) tambahan untuk melindungi diri dari serangan hama dan penyakit, seperti penyakit ice-ice dan epifit serta hama yang menggaggu seperti rumput liar maupun ganggang-ganggan liar yang tumbuh disekitar perairan, dan organisme lainnya seperti, kutu air yang dapat menyebab kerusakan pada rumput laut.
1.2. Tujuan dan Kegunaan
            Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan perbandingan hasil daya tahan rumput laut Kappaphycus alvarezii strain coklat yang diberi nutrisi dan rumput laut di alam terhadap serangan penyakit ice-ice dan epifit.
            Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk sebagai sumber referensi dan sumber acuan bagi para petani rumput laut terhadap daya tahan serangan hama dan penyakit.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Biologi
            Menurut  Doty  (1985), Eucheuma  cottonii merupakan  salah  satu  jenis rumput  laut  merah  (Rhodophyceae)  dan  berubah  nama  menjadi  Kappaphycus alvarezii karena  karaginan  yang  dihasilkan  termasuk  fraksi  kappa-karaginan. Maka  jenis  ini  secara  taksonomi  disebut  Kappaphycus  alvarezii (Doty, 1986). Nama  daerah  ‘cottonii’  umumnya  lebih  dikenal  dan  biasa  dipakai  dalam  dunia perdagangan  nasional  maupun  internasional.   Klasifikasi  Kappaphycus  alvarezii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :
Kingdom          : Plantae
Divisi                : Rhodophyta
Kelas               : Rhodophyceae
Ordo                : Gigartinales
Famili              : Solieriacceae
Genus              :  Kappaphycus
Species           :  Kappaphycus  alvarezii
Gambar 1. Rumput Laut Kappaphycus  alvarezii (Doty, 1986).

            Ciri  fisik  Kappaphycus  alvarezii adalah  mempunyai  thallus  silindris, permukaan licin. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya  karena  faktor  lingkungan.   Kejadian  ini  merupakan  suatu  proses  adaptasi kromatik  yaitu  penyesuaian  antara  proporsi  pigmen  dengan  berbagai  kualitas pencahayaan  (Aslan, 1998). 
            Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai  kompleks. Duri-duri  pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang  dan  tidak bersusun melingkari thallus.  Percabangan ke berbagai arah  dengan  batang-batang  utama  keluar  saling  berdekatan  ke  daerah  basal (pangkal).  Tumbuh  melekat  ke  substrat  dengan  alat  perekat  berupa  cakram. Cabang-cabang  pertama  dan  kedua  tumbuh  dengan  membentuk  rumpun  yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja, 1996).
            Umumnya  K. alvarezii tumbuh  dengan  baik  di  daerah  pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati (Aslan, 1998).
            Beberapa  jenis  K. alvarezii mempunyai  peranan  penting  dalam  dunia perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrakkaraginan.  Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheumaberkisar antara 54 – 73 % tergantung pada jenis dan  lokasi  tempat  tumbuhnya.  Jenis  ini  asal  mulanya  didapat  dari  perairan Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina).  Selanjutnya dikembangkan ke berbagai negara sebagai tanaman budidaya. Lokasi budidaya rumput laut jenis ini  di  Indonesia  antara  lain  Lombok,  Sumba,  Sulawesi  Tenggara,  Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Atmadja, 1996).


2.2. Nutrisi Yang Terkandung Dalam Rumput Laut K. alvarezii
            Nutrien merupakan unsur yang sangat penting bagi alga karena kekurangan salah satu unsur nutrien dapat mengakibatkan alga tidak dapat tumbuh dengan baik. Unsur-unsur nutrien yang sangat penting bagi pertumbuhan alga adalah Nitrat dan Fosfat (Gumolili, 1999 dalam Supit, 2005).  Selanjutnya dikatakan bahwa nitrat dianggap sebagai nutrien pembatas untuk pertumbuhan alga apabila jumlah kandungannya lebih sedikit dibanding dengan kandungan fosfat dalam perairan.  Nitrat merupakan sumber nitrogen yang terbaik untuk pertumbuhan beberapa jenis alga laut.  Nitrat tersebut diserap oleh alga laut kemudian diolah menjadi protein dan selanjutnya menjadi sumber makanan bagi organisme perairan.  Kekurangan nitrat ditandai dengan pemudaran warna pada thallus alga merah dari warna hijau menjadi agak keputih-putihan.
            Selain Nitrat, Fosfat juga merupakan faktor nutrien utama bagi kebutuhan alga.  Kekurangan unsur P dalam perairan dapat menyebabkan rendahnya produktivitas primer suatu perairan.  Unsur P dalam perairan tidak dapat ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, tetapi dalam bentuk anorganik terlarut (Gumolili, 1999 dalam Supit, 2005).  Alga juga menyimpan kandungan P yang diserapnya sebagai salah satu cara mempertahankan pertumbuhannya ketika tingkat konsentrasi nutrien rendah di perairan.
            Nutrien yang dibutuhkan oleh rumput laut tidak cukup dari media asalnya, yaitu air laut. oleh karena itu perlakuan dengan penambahan pupuk untuk pertumbuhannya akan memberikan hasil yang baik. Hal ini didukung oleh Aslan (1998) bahwa salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah nutrien yang dapat diperoleh dari pupuk. Sejalan dengan pendapat (Liao et al. 1983 dalam Alam, 2011) menyatakan bahwa kelangsungan hidup embrio rumput laut K. alvarezii  yang tumbuhkan pada media padat yang diperkaya dengan beberapa macam pupuk memperlihatkan bahwa media padat yang diperkaya dengan pupuk Conwy.
2.3. Penyakit Yang Menyerang Rumput Laut K. alvarezii
            Penyakit  rumput  laut  didefinisikan  sebagai terganggunya  struktur  dan  fungsi  yang  normal, seperti  terjadinya  perubahan  laju  pertumbuhan, penampakkan  (warna dan  bentuk),  serta  akhirnya berpengaruh  terhadap  tingkat  produktivitas (Andrews 1976 dalam Aji, 1992).  Ice-ice diketahui  pertama  kali  menginfeksi  Eucheuma  di Philipina  pada  tahun  1974  (Aji 1992; Sulistiyo, 1988),  merupakan  penyakit  yang  banyak menyerang  rumput  laut  pada  saat  musim  hujan (Oktober-April)  (Doty, 1975; Doty 1979; Mintardjo, 1990).  Ice-ice  merupakan  penyakit dengan tingkat infeksi cukup tinggi di negara Asia penghasil Eucheuma (Philips, 1990).  Penyakit ini merupakan efek bertambah tuanya rumput  laut  (Doty, 1979; Trono, 1990)  dan kekurangan  nutrisi  (Kaas  and  Perez, 1990), ditandai  dengan  timbulnya  bintik-bintik/bercak-bercak merah pada sebagian  thallus  yang lama kelamaan menjadi  kuning  pucat  dan  akhirnya  berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya menjadi hancur atau rontok  (Aditya dan Ruslan,  2003; Aji dan Murdjani, 1986; Imardjono et al.,1989; Trensongrusmee dkk., 1986; Runtuboy, 2004).  Ice-ice dapat menyebabkan thallus menjadi rapuh dan  mudah  putus.  Gejala  yang  diperlihatkan adalah  pertumbuhan  yang  lambat,   terjadinya perubahan  warna  menjadi  pucat  dan  pada beberapa  cabang  thallus  menjadi  putih  dan membusuk.
            Stress  yang  diakibatkan  perubahan  kondisi lingkungan  yang  mendadak  seperti:  perubahan salinitas,  suhu  air  dan  intensitas  cahaya, merupakan faktor utama yang memacu timbulnya penyakit  ice-ice.  Ketika  rumput  laut  mengalami stress  karena  rendahnya  salinitas,  suhu, pergerakan  air  dan  instensitas  cahaya,  akan memudahkan  infeksi  patogen  (Imardjono  et al.,1989; Hurtado and Agbayani, 2000; Mintardjo, 1990; Kaas and Perez, 1990).  Dalam  keadaan stress,  rumput  laut  (misalnya: Gracilaria, Eucheuma  atau  Kappaphycus)   akan membebaskan  substansi  organik  yang menyebabkan  thallus  berlendir  dan  diduga merangsang  banyak  bakteri  tumbuh  di  sekitarnya (Trono, 1974;  Aji  dan Murdjani, 1986; Kaas and Perez, 1990; Uyenco et al.,1981).  Laminaria  juga terinfeksi  penyakit  yang  mirip  ice-ice  disebabkan karena  tinggi  Hidrogen  Sulfida  (H2S)  yang diproduksi  oleh  bakteri  saprofit  (Wu et al.,1976 dalam  Yuan,  1990).  Kejadian  penyakit  ice-ice bersifat musiman dan menular. Bakteri yang dapat diisolasi  dari  rumput  laut  dengan  gejala  ice-ice antara  lain  adalah  Pseudomonas  spp., Pseudoalteromonas gracilis,  dan  Vibrio  spp. Agarase  (arginase)  dari  bakteri  merupakan  salah satu faktor virulen yang berperan terhadap infeksi ice-ice (Yuan, 1990).
            Sehingga dilakukan pemberian nutrien untuk menambah daya tahan (metabolisme) tambahan untuk melindungi diri dari serangan hama dan penyakit, seperti penyakit ice-ice dan epifit serta hama yang menggaggu seperti rumput liar maupun ganggang-ganggan liar yang tumbuh disekitar perairan, dan organisme lainnya seperti, kutu air yang dapat menyebab kerusakan pada rumput laut.  Dan pertumbuhan yang stabil akan terjaga. 
2.4. Pertumbuhan Rumput laut K. alvarezii
            Pertumbuhan (growth) dapat diartikan sebagai perubahan secara kuantitatif selama siklus hidup tanaman tersebut yang bersifat terus-menerus. Bertambah besar ataupun bertambahnya berat tanaman, ukuran atau bagian tanaman akibat adanya penambahan unsur-unsur struktural yang baru. Peningkatan ukuran tanaman yang tidak akan kembali sebagai akibat pembelahan  dan  pembesaran sel, misalnya : dalam  ukuran  sel,  jaringan  dan organ  (Maulana, 2009).
            Sugiarto et. al, (1987) dalam Amin et. al, (2005), menyatakan bahwa laju pertumbuhan  rumput laut berkisar antara 2%-3% per hari. Ini tergantung dari suplai sinar matahari, iklim, dan kondisi geogravis yang ada pada suatu perairan yang di ukur dengan pertumbuhan somatik yakni pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat dan panjang thallus rumput laut.
            Pada umumnya Kappaphycus alvarezii terdapat di daerah tertentu dengan persyaratan khusus, kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau daerah yang selalu terendam air (sub tidal) dan melekat pada substrat di dasar perairan berupa karang mati, karang batu atau  cangkang moluska. Umumnya mereka tumbuh  dengan baik di daerah pantai berbatu (reef), karena di tempat inilah beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya  faktor   kedalaman  perairan,  cahaya,  substrat  dan  gerakan  air (Aslan, 1995).
2.5. Kualitas Air Dalam Budidaya Rumput Laut K. alvarezii
2.5.1. Suhu
            Rumput laut memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis, karena itu rumput laut hanya dapat tumbuh pada perairan dengan kedalaman tertentu di mana sinar matahari dapat sampai ke perairan.
            Suhu air di lapisan permukaan akan menjadi lebih panas dari yang ada di bawahnya karena penyinaran matahari, sehingga air permukaan suhunya lebih tinggi dan berat jenisnya lebih ringan dibandingkan lapisan air bawahnya. Air di lapisan permukaan disebut epilimnion dan di bawahnya di sebut hipolimniom. Di antara ke dua lapisa ini ada lapisan yang di sebut lapisan thermoklin atau metalimnion  yang di tandai dengan penurunan suhu yang sangat tajam. (Subandar dkk, 2005)
            Temperatur air laut yang baik untuk budidayaCappaphycus alvarezii. berkisar antara 27-30o C. Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut berwarna pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat (Ditjenkanbud, 2003 dalam Fibrianto, 2007). Hal ini diperkuat oleh Aslan (1995) yang mengatakan bahwa perkembangan beberapa jenis alga tergantung pada kondisi suhu dan intensitas cahaya. Suhu yang baik untuk pertumbuhan Kappaphycus alvarezii berkisar antara 25–300c. Akan tetapi Euceuma sp.  mempunyai toleransi terhadap suhu 25-300c dengan fluktuasi harian 40c.
            Perubahan suhu yang drastis dari suhu optimum ke suhu yang rendah atau sebaliknya dapat menyebabkan stress dan kerusakan jaringan pada rumput laut yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya penyakit ice-ice.  Akibat lain yang timbul karena perubahan suhu adalah penurunan pertumbuhan.  Pada perairan yang dangkal, perbedaan temperatur antara siang dan malam hari sering terlalu besar sehingga dapat mengganggu pertumbuhan alga.  Semakin dalam perairan maka suhu semakin rendah atau sebaliknya permukaan perairan memiliki suhu yang sangat tinggi.  Hal tersebut berhubungan erat dengan intensitas penyinaran cahaya matahari yang akan masuk ke kolom air.
2.5.2. Salinitas
            Rumput laut (Kappaphycus alvarezii) adalah rumput laut yang bersifat stenohaline. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi.  Oleh karena itu salinitas merupakan salah satu faktor yang perlu untuk diperhatikan dalam usala budidaya rumput laut.  Salinitas merupakan salahsatu parameter kualitas air yang sangat berpengaruh pada organisme dan dan tumbuhan yang hidup di perairan laut Febrianto (2007) mengatakan bahwa rumput laut adalah alga laut yang  relatif tidak tahan  terhadap  perbedaan  salinitas yang berada di atas 30‰.  Salinitas yang baik berkisar antara 28–32 ‰ dengan nilai optimum 30 ‰. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.  Daerah ini umumnya memiliki salinitas yang relatif rendah dibandingkan dengan perairan pantai yang tidak memiliki suplai air tawar. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar menyebabkan pertumbuhan Kappaphycus alvarezii  spmenjadi tidak normal.  Salinitas merupakan salahsatu parameter kualitas air yang cukup berpengaruh pada organisme dan tumbuhan yang hidup di perairan laut.
2.5.3. Kecerahan
            Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang di tentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk.  Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter.  Nilai ini sangat di pengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi, dan ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi, 2003).
            Nilai kecerahan suatu perairan berhubungan dengan kekuatan penetrasi (intensitas) cahaya matahari ke dalam suatu perairan tersebut. Penetrasi cahaya matahari di pengaruhi oleh partikel-partikel yang terdapat dalam air baik yang tersuspensi maupun terlarut.  Pengaruh tersebut dapat mengurangi tebalnya lapisan fotosintetik di suatu perairan. (Soeyasa dkk, 2001).
            Lokasi budidaya haruslah jernih sepanjang tahunnya, terhindar dari pengaruh sedimentasi atau intrusi air sungai.  Tingkat kejernihan air diukur dengan penampakan kecerahan yang mencapai kedalaman 5 meter atau lebih. Meskipun demikian kondisi yang ideal dengan angka transparansi minimal sekitar 1,5 m. (Ambas, 2006) sedangkan Ditjenkanbud, (2005) bahwa kecerahan air yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah 1-5 m.
2.5.4. Kecepatan Arus
            Menurut Ditdejenkanbud (2006), rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya.  Pertukaran air yang teratur sangat menguntungkan bagi alga, karena membantu mensuplai nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut.  Suplai zat hara ini dibantu oleh gerakan ombak dan arus yang memudahkan rumput laut untuk menyerap zat hara, membersihkan kotoran dan melangsungkan pertukaran CO2 dengan O2 (Indriani dan Sumiarsih, 1991).
            Kecepatan arus yang dianggap cukup untuk budidaya rumput laut berkisar antara 20-40 cm/detik. Untuk pertumbuhannya, Kappaphycus alvarezii sp. membutuhkan gerakan air yang konstan sepanjang tahun dengan kekuatan sedang.  Suatu perairan yang cukup gerakan air ditandai dengan terdapatnya karang lunak (soft koral) dan kondisi daun lamun (Thalasia, Enhalus) yang bebas dari debu air (Silt) (Indriani dan Sumiarsih, 2003 dalam Fibrianto, 2007). Sedangkan gerakan air yang bergelombang (ombak), ombaknya harus tidak ebih dari 30 cm.  Bila arus yang lebih cepat maupun gelombang yang terlalu tinggi, dapat memungkinkan terjadi kerusakan tanaman, seperti patah, robek, ataupun terlepas dari substratnya.  Selain itu, penyerapan zat hara akan terhambat karena belum sempat diserap, tetapi telah dibawa pergi oleh air.
            Pergerakan air akan membantu menyebarkan nutrien dalam air dan menyebapkan pengadukan air yang dapat mencegah kenaikan suhu yang tinggi. Bila gerakan air kurang maka endapan-endapan akan menutupi permukaan thalus tanaman sehingga menyebapkan kurangnya intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman untuk melakukan fotosintesis dan menyebapkan adanya kompetisi dalam menyerap makanan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi rendah.


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  . Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November sampai bulan Januari 2014, di Desa Punaga, Kecamatan Manggarabombang, Kabupaten Takalar.
3.2  . Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama peneltian ini dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.
Tabel 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian
No
Nama Alat
Kegunaan
1.
Tali utama
Tempat mengikat tali ris
2.
Tali ris
Tempat mengikat tali piting
3.
Tali piting
Mengikat rumput laut
4.
Pisau/gunting
Memotong rumput laut
5.
Timbangan electrik
Menggukur berat rumput laut
6.
Botol pelampung
Menggapungkan tali bentangan
7.
Perahu/sampan
Menanam dan menggambil rumput laut
8.
Toples
Menyimpan sampel uji untuk di teliti
9.
Loupe
Melihat penyakit secara dekat
10.
Buku dan alat tulis kerja
Mencatat hasil pengamatan
11.
Kamera
Menggambil gambar

Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakandalam penelitian
No
            Nama Bahan
                        Kegunaan
1.
Bibit rumput laut yang dikayakan dengan nutrien
Sampel uji
2.
Bibit rumput laut yang tidak dikayakan dengan nutrien
Sampel uji
3.
Formalin
Menggawetkan sampel

3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Penyediaan Bibit
            Penyediaan bibit diambil dari hasil pembibitan yang dipengkayaan nutrisi selama 45 hari dan bibit alam yang tidak diperkayakan dengan nutrisi memiliki berat yang berbeda-beda. Kemudian bibit yang sudah diperkaya nutrisi dan bibit rumput laut dari alam akan di timbang dengan berat yang sama, yaitu; 1 gram, 5 gram, 10 gram, dan 20 gram.  Setelah itu, bibit akan diikat dengan tali piting dan akan di budidayakan.
3.3.2. Penanaman Bibit dengan Metode Long Line
3.3.2.1. Sarana Budidaya
      Pembuatan sarana budidaya bibit rumput laut dengan metode long line dapat dilihat pada gambar dibawah:

Gambar 2. Sarana budidaya dengan metode Long Line
Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa tali utama diikat sehingga membentuk persegi panjang dan diikatkan pada patok-patok dengan jangkar sebagai pemberat dan botol aqua 500 ml sebagai pelampung. Tali utama yang menjadi tempat mengikat tali-tali ris yang telah diberi bibit rumput laut pada tali piting dengan berat yang telah ditentukan.
3.3.2.2. Penanaman Bibit
            Penanaman bibit dilakukan dengan cara bibit rumput laut di potong dan timbang dengan berat 1 gram, 5 gram, 10 gram, dan 20 gram yang sama, pada rumput laut yang dikayakan dengan nutrisi dan rumput laut dari alam yang tidak dikayakan dengan nutrisi, kemudian rumput laut diikat dengan tali-tali piting dengan jarak 10-15 cm/tali piting. Kemudian tali ris yang diikatkan dengan tali utama dengan jarak 10-15 cm/tali ris dan dapat dilihat dengan gambar dibawah:

                  Gambar 3. 4 perlakuan dengan 8 kali  ulangan
            Dapat dilihat dari gambar di atas, menunjukan bahwa A dan A’ dengan A adalah bibit rumput laut yang telah dikayakan dengan nutrisi, sedangkan A’ adalah bibit rumput laut yang tidak dikayakan dengan nutrisi, begitu juga dengan B dan B’, C dan C’, D dan D’, serta E dan E’. Ikatan tersebut berjarak antara 10-15 cm bentangan tali ris dengan bentangan lainnya.
      Ikatkan pelampung (botol aqua 500 ml) tersebut pada tali ris sepanjang  3-5 m agar rumput laut menggambang dengan merata dalam kedalaman yang telah ditentukan.  Bibit rumput laut yang digunakan untuk ditanam berasal dari hasil pengkayaan nutrisi dan rumput laut dari alam yang tidak diperkaya dengan nutrisi dengan masing-masing memiliki bobot awal yang berbeda (1, 5, 10 dan 20 gram) dengan empat perlakuan dan delapan kali ulangan.
3.3.4. Pemeliharaan dan Pengontrolan
Pemeliharaan dan pengontrolan dilakukan dua kali dalam seminggu, dengan melakukan pengontrolan terhadap kualitas air (suhu, pH, salinitas dan kecerahan) dengan pengontrolan dilakukan dengan cara melihat dengan secara langsung yaitu organisme laut, maupun parasit penggaggu atau dengan menggunakan alat bantu, yaitu Loupe. Kemudian dicatat di dalam buku jurnal.
Perlakuan dilakukan untuk menentukan hasil yang dicapai, Perlakuan yang dilakukan adalah sebagai berikut;
1.    Perlakuan A dan A’ berat 1 gram tanpa kontrol
2.    Perlakuan B dan B’ berat 5 gram dengan kontrol
3.    Perlakuan C dan C’ berat 10 gram dengan kontrol
4.    Perlakuan D dan D’ berat 20 gram dengan kontrol
Setiap perlakuan dalam bentangan dilihat berapa banyak penyakit atau organisme yang menyerang rumput laut. Serta sampel uji yang terserang penyakit diidentifikasi di dalam Laboratorium Hama dan Penyakit, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
3.3.5. Pengamatan Laju Pertumbuhan
Laju pertumbuhan selalu dilakukan guna untuk meningkatkan berat/bobot rumput laut setiap minggunya. Itu gunanya dilakukan pengontrolan untuk melihat berat dan hasil yang maksimal.  Laju pertumbuhan dihitung berdasarkan model eksponensial pertambahan berat per hari yaitu;
 LP=(Wo-Wt/t)x100%

Keterangan :
            LP      = Laju Pertumbuhan dalam % per hari
            Wo     = Berat tanaman awal (gram)
            Wt      = Berat tanaman akhir (gram)
            t         = Lama Penanaman (hari)
            Kemudian dilakukan uji lanjut, yaitu Prevalensi, untuk melihat laju terjadinya infeksi penyakit Ice-ice dan Epifit, serta parasit lainnya. Rumus yang digunakan, yaitu adalah sebagai berikut;
 Prevalensi=(Jumlah Terinfeksi/Jumlah Sampel) x100%

3.3.6. Analisis Data
            Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap respon yang diukur digunakan analisis model rancangan acak lengkap (RAL), apabila perlakuaan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji w–Tukey untuk menentukan performansi pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii dari pengkayaan nutris dengan metode long line.



DAFTAR PUSTAKA

Aditya,  T.W  dan  Ruslan.  2003.  Rekayasa Teknologi  Produksi  Rumput  Laut   (Kappaphycus  alvarezii). Laporan Tahunan Balai  Budidaya  Laut  Tahun        Anggaran 2003.95-97 p.
Aji, N dan  Murdjani, M. 1986. Budidaya Rumput Laut.  INFIS  Manual  Seris  No.32.          Direktorat  Jenderal  Perikanan  dan International  Development  Research          Centre.
Aslan, L. M. 1995. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta.
Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta.
Atmadja  WS,  et al.  1996.  Pengenalan  Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia.        Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta.
Ditjenkan  Budidaya.  2005.  Identifikasi  dan  Pemetaan  Pengembangan              Budidaya Rumput Laut di Wilayah Coremap II Kabupaten Bintan. Laporan       Akhir.
DKP. 2008. Perkembangan Ekspor Produk Perikanan Menurut Komoditas Utama
            Ekspor. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Jakarta.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Fibrianto. 2007. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Dengan Metode Rakit           Apung di Kampung Manggonswan, Distrik Kepulauan Aruri, Kabupaten Supiori-Papua. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.
Imardjono,  S.,  Yuwono,  S.  K  and  Hermawan,  A. 1989.  The  Important  Species          of  Seaweed Culture  in  Indonesia.  The  Training  on Laminaria  (Seaweed)         Polyculture  with Molluscs.  Qing  Dao.  People’s  Republic  of China 15 June-31 July 1989.
Indriani dan Sumiarsih. 1991. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput       Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kaas, R and Perez, R. 1990. Study of the IntensiveCulture  of  Undaria  on  the     Coast  of Brittany.  Regional  Workshop  on  the Cultured  and  Utilization              of  Seaweed. Philippines. 31-33 p.
Maulana. 2008. Pertumbuhan Tanaman Berumur pendek. Departemen Budidaya             pertanian Sumatra Utara. Medan.
Runtuboy,  N.  2004.  Disseminasi  Budidaya Rumput  Laut  Cottoni  (Kappaphycus
            alvarezii).  Laporan  Tahunan  Balai Budidaya Laut Tahun Anggaran           2003.189-195 p.
Subandar, A., Lukijanto, A., Sulaiman. 2005. Penentuan Daya Dukung Lingkungan           Budidaya Keramba Jaring Apung Program Riset Unggulan Strategis       Nasional Kelautan. Jakarta.
Sulistjo dan Szeifoul.,  1988.  Pengaruh  Pergantian  Air  Laut  Terhadap    Perkembangan  Zigot Sargassum polycystum. Oseanologi dan Limnologi         di Indonesia, 17 (41), pp.15-38.
Sulistijo, 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Puslitbang     Oseanologi LIPI, Jakarta.
Sulistiyo.  1988.  Hama,  Penyakit  dan  tanaman Penganggu  pada  Tanaman      Budidaya Rumput  Laut  Eucheuma.  Bahan  Kuliah pada  Latihan  Ahli          Budidaya  Laut.  Balai Budidaya Laut.
Supit. R. L. 2005. Analisis Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan            Alga Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty yang dibudidayakan dengan      Metode Tali TunggalLepas Dasar (off-bottom monoline method) di Perairan          Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. Fakultas           Perikanan. Kupang.
Syaputra  Y.  2005.   Pertumbuhan  dan  Kandungan  Karaginan  Budidaya  Rumput
            Laut  Eucheuma  cotonii   pada  Kondisi  Lingkungan  yang  Berbeda  dan
            Perlakuan Jarak Tanam di Teluk Lhok.   Seudu.   Tesis.  Institut  Pertanian
            Bogor.
Trensongrusmee,  B.,  Pontjoprawiro,  S  dan Soedjarwo,  I.  1986.  Pengusaha     Kecil Budidaya  Rumput  Laut  Merah  Eucheuma. Paket  Teknologi  untuk     Budidaya  Rumput Laut.  Proyek  Pengembangan  Teknik Budidaya  Laut.           Seafarming  Development Project INS/81/008. 13 p.
Trono,  G.C.  1992.  Suatu  Tinjauan  tentang Teknologi   Produksi  Jenis  Rumput             Laut Tropis  yang  Bernilai  Ekonomis.  INFIS Manual  Series  Seri  No. 29,       1992  (Aji,  N., Mintardjo,  M.K  dan  Minjoyo,  H: Penerjemah). Direktorat         Jenderal  Perikanan  dan  International  Development  Research Center.    50 p.
Yuan,  W.C.  1990.  Cultivation  of  TemperateSeaweeds  in  The  Asia  Pasific      Region. Technical  Resources  Papers  Regional Workshop  on  The     Culture  and  Utilization Seaweeds  Volume  II.  Network  of Aquaculture     Centre  in  Asia.  Thailand.  27-32 p.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong Komentarnya ya... Biar aku bisa memperbaaiki apa yang kurang dan salah.
Mohon bantuannya ^_^

My Blog List

Statistik Uchiha Arjhi'e